Review Film: "The Last Front" – Aksi Brutal di Tengah Drama Perang Dunia I


The Last Front adalah film yang pas untuk jadi kartu panggilan bagi Julien Hayet-Kerknawi, sutradara debutan yang langsung bikin gebrakan dengan proyek beranggaran menengah ini. Meski budget-nya nggak gede-gede amat, film ini terasa megah karena setiap sen digunakan dengan maksimal. Bisa jadi, ini adalah langkah awal bagi Julien untuk mendapatkan kepercayaan dari studio buat menggarap proyek dengan budget yang lebih besar. Tapi, mengingat tema yang diangkat, jangan kaget kalau ke depannya Julien malah bikin film aksi ala Dwayne Johnson ketimbang drama sejarah.

Film ini sendiri berlatar di sebuah desa pertanian kecil di Belgia yang berusaha dibebaskan dari cengkeraman tentara Jerman selama Perang Dunia I. Penonton akan melihat betapa kejamnya tentara Jerman terhadap warga sipil, dengan dalih "melaksanakan perintah." Karakter utamanya adalah Leonard Lambert (diperankan oleh Iain Glen), seorang duda yang tinggal di sebuah peternakan bersama anaknya, Johanna (Emma Dupont) dan Adrien (James Downie), serta seorang perwira tentara Jerman bernama Letnan Laurentz (Joe Anderson). Laurentz ini nggak cuma punya masalah psikologis kayak psikotik, gampang marah, dan alkoholik, tapi dia juga tipe villain kelas kakap yang sepanjang film bikin kamu berharap dia dibunuh dengan cara yang paling brutal.

Film ini bukan tipe cerita yang punya banyak area abu-abu. Karakternya juga nggak terlalu kompleks, lebih sekadar menjalankan fungsi plot daripada punya kehidupan pribadi yang menarik. Lambert sendiri digambarkan sebagai seorang pasifis yang lebih memilih menghindari konfrontasi. Sementara itu, Laurentz begitu menjijikkan dan kacau, bahkan ayahnya sendiri, Komandan Maximilian (Philippe Brenninkmeyer), menyebutnya sebagai monster. Saking detestabelnya, Laurentz bahkan sempat mengarahkan pistol ke kepala ayahnya sendiri. Karakter lain, seperti pacar Adrien, Louise (Sasha Luss), ayahnya, Dr. Janssen (Koen De Bouw), dan Pastor Michael (David Calder), lebih sering menjadi umpan suspense, apakah mereka bakal disiksa atau dibunuh oleh Laurentz yang solusinya untuk setiap masalah adalah mengambil senjata dan menembak.

Kekerasan dalam film ini cukup terukur, biasanya hanya menunjukkan secukupnya darah dan rasa sakit untuk memberi tahu bahwa perang itu memang neraka. Tapi semakin film ini mencoba berbicara serius tentang kekejaman perang, semakin sulit rasanya untuk mempercayainya, karena film ini lebih sering menggunakan bahasa visual dan audio ala film balas dendam. Pada beberapa titik, penggemar film aksi mungkin akan teringat pada film-film Mel Gibson seperti The Patriot, Braveheart, dan Hacksaw Ridge yang mencoba membuat pernyataan besar tentang periode sejarah tertentu tapi akhirnya lebih terasa seperti film aksi ala Arnold Schwarzenegger atau Sylvester Stallone tahun 1980-an, di mana satu orang bisa menjadi pasukan tempur tunggal.

Satu hal yang cukup bikin bingung adalah kenapa film ini banyak menghabiskan waktu menunjukkan Lambert yang galau daripada langsung aja bikin dia angkat senjata melawan tentara Jerman. Dengan Glen yang terkenal karena perannya sebagai pria bijaksana tapi bisa ngekick butt di Game of Thrones, rasanya nggak perlu ada alasan buat mengulur-ngulur adegan Lambert jadi jagoan. Ini bukan drama psikologis, jadi nggak ada alasan buat menunda adegan Lambert berubah jadi John Wayne versi Perang Dunia I.

Meski begitu, ada beberapa hal yang layak diapresiasi. Akting para pemain pendukung benar-benar solid, dan Glen sangat meyakinkan sebagai pria baik-baik yang dipaksa bertindak keras. Jika film ini sukses, mungkin Glen bisa punya karier baru di genre aksi, seperti para aktor senior yang belakangan ini banyak main di film aksi R-rated. Sinematografi karya Xavier Van D'huynslager juga patut diacungi jempol, dengan penggunaan format layar lebar yang ciamik dalam menampilkan banyak orang di satu frame, sesuatu yang sering diabaikan oleh sutradara film masa kini. Adegan aksinya juga rapi dan jelas; kita tahu apa yang terjadi, apa yang dipertaruhkan, dan kenapa hal-hal berakhir seperti itu. Musik gubahan Frederik Van de Moortel juga pas, lebih mirip musik thriller aksi tahun 80-an ketimbang musik drama perang yang suram. Musiknya berhasil membangun ketegangan menuju adegan kekerasan, dan ada momen brilian di paruh kedua film di mana musiknya tiba-tiba terdengar seperti loop feedback yang terdistorsi, seolah-olah menunjukkan karakter dalam adegan tersebut mulai kehilangan kewarasannya.

Kalau Liam Neeson mau balik lagi ke bisnis ala Taken, dia bisa banget hemat waktu dengan mempekerjakan seluruh tim film ini, termasuk Glen sebagai sepupu Nigel, mantan agen MI-6. Entah itu kesan yang memang ingin ditinggalkan oleh para pembuat film, tapi itulah yang terasa.

Lebih baru Lebih lama