Musim kedua Blue Lock membawa intensitas yang lebih tinggi dan tantangan yang lebih besar bagi para peserta program. Setelah eliminasi pada tahap sebelumnya, para pemain kini dihadapkan pada ujian baru: menghadapi tim nasional U-20 Jepang. Tekanan dari Federasi Sepak Bola Jepang, yang terganggu oleh ‘keributan’ yang ditimbulkan program ini, menjadi latar belakang untuk pertarungan besar yang akan datang.
Namun, di dunia Blue Lock, segalanya dimulai dengan persaingan internal. Ego Jinpachi mengumumkan enam pemain teratas—Rin Itoshi, Shido Ryusei, Tabito Karasu, Eita Otoya, Kenyu Yukimiya, dan Nagi Seishiro—dan format kompetisi untuk menentukan siapa yang akan bertanding melawan tim nasional. Selama serangkaian pertandingan intens, ketidakcocokan antara Eita dan Shido menjadi jelas, hingga akhirnya hanya satu dari mereka yang masuk tim.
Keputusan ini menghasilkan kejutan besar: pemain yang ditinggalkan justru bergabung dengan lawan, tim U-20, yang dipimpin oleh bek tengah Oliver Aiku dan Sae Itoshi, kakak Rin yang merupakan pemain terbaik Jepang dan sudah dikontrak klub Spanyol. Persaingan antar saudara ini menjadi inti dari drama, dengan pertandingan antara kedua tim mendominasi 14 episode musim kedua ini.
Sebagaimana tradisi anime olahraga, Blue Lock mengikuti formula shonen: para protagonis menghadapi lawan yang semakin kuat, kalah, berlatih, lalu menang, diiringi kilas balik yang mengungkap masa lalu para karakter. Setiap aspek permainan—umpan, dribel, hingga tekel—diperlihatkan sebagai aksi heroik yang megah, sementara gol digambarkan dengan ledakan visual yang luar biasa.
Meskipun pendekatan ini jelas berlebihan dan jauh dari realitas, gaya over-the-top Blue Lock sangat menghibur. Adegan pemain berubah menjadi seperti “super saiyan,” masuk mode “berserk,” atau tetap tenang di tengah tekanan, menjadi tontonan menarik. Pertarungan satu lawan satu di lapangan pun digambarkan seperti pertempuran epik dengan sentuhan kekerasan yang intens, memberikan elemen ketegangan yang sangat sesuai dengan cerita.
Ketegangan ini hadir sepanjang musim, baik melalui seleksi pemain, pertandingan yang dipenuhi penggemar nasional, hingga bentrokan antar karakter. Puncaknya adalah persaingan emosional antara Rin dan Sae Itoshi, yang menghadirkan salah satu momen terbaik musim ini.
Namun, Blue Lock memang melemparkan semua unsur realisme keluar jendela. Hal ini sesuai dengan gaya anime olahraga, dan justru menjadi daya tariknya. Meski demikian, elemen humor dalam serial ini terasa kurang efektif. Momen komedi sering kali terasa dipaksakan, bahkan mengganggu intensitas cerita. Segmen tambahan di akhir setiap episode pun terasa tidak perlu, seolah hanya untuk memperpanjang durasi.
Secara teknis, Blue Lock tetap impresif. Desain karakter karya Kenji Tanabe menampilkan para pemain sebagai prajurit, bahkan monster, yang sesuai dengan gaya visual anime ini. Studio 8bit menghadirkan animasi yang penuh hiperbola, dengan adegan dribel, umpan, dan gol ditampilkan sebagai momen historis. Kombinasi animasi tangan dan CGI bekerja harmonis, dengan animasi penggemar dan suara latar yang menghidupkan atmosfer stadion. Pemotongan layar yang sering kali membagi adegan menjadi beberapa bagian juga menambahkan sentuhan visual yang menarik.
Walau gaya berlebihan musim kedua ini melampaui musim pertama, Blue Lock Season 2 tetap menjadi tontonan yang dirancang untuk hiburan maksimal—dan berhasil mencapainya dengan gemilang.