Korupsi di Indonesia bukan hanya masalah yang terjadi di tingkat pejabat tinggi atau pemerintahan pusat. Praktik ini telah merembes hingga ke level paling dasar dalam struktur birokrasi, yakni di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Meskipun sering kali dianggap sebagai permasalahan yang hanya ditemukan pada birokrasi tingkat atas, kenyataannya budaya korupsi ini sudah mengakar jauh di bawah. Di tingkat RT/RW, meskipun jumlahnya terbilang kecil, dampaknya tidak bisa dianggap remeh karena merusak kepercayaan publik dan memperkuat budaya penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus-kasus korupsi di tingkat RT/RW kerap kali muncul dalam bentuk penyalahgunaan dana sosial, pembangunan, atau insentif yang tidak sesuai prosedur. Sebagai contoh, pada tahun 2017 di Kelurahan Cimpaeun, Kota Depok, terjadi dugaan korupsi dana insentif yang seharusnya diberikan kepada pengurus RT/RW. Bendahara Kelurahan tersebut diduga menggelapkan dana yang seharusnya diterima oleh pengurus RT/RW. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa meskipun di tingkat bawah, pengelolaan dana yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat bisa disalahgunakan demi keuntungan pribadi.
Tidak hanya itu, pada 2024, Kota Palopo juga diguncang oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkapkan ketidaksesuaian dalam pembayaran insentif RT/RW. Temuan ini menunjukkan adanya dugaan pengelapan dana hingga mencapai Rp3,3 miliar. Pembayaran yang tidak sesuai prosedur tersebut merugikan negara dan menjadi bukti betapa lemahnya pengawasan terhadap penggunaan dana di level RT/RW.
Faktor utama yang mendorong budaya korupsi di tingkat ini adalah kurangnya transparansi dan pengawasan yang ketat. Seringkali, warga tidak tahu ke mana aliran dana tersebut digunakan, dan laporan yang disampaikan pengurus RT/RW tidak cukup jelas atau terbuka untuk publik. Hal ini membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan posisi mereka demi kepentingan pribadi. Selain itu, budaya patronase yang kuat di banyak wilayah memperburuk keadaan, di mana kepentingan kelompok atau individu lebih diutamakan daripada kepentingan bersama.
Namun, korupsi di tingkat RT/RW bukan hanya soal uang. Ia juga mencerminkan ketidakmampuan sistem untuk memastikan akuntabilitas yang memadai. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengawasi penggunaan dana, serta tanpa adanya dorongan yang kuat untuk menjunjung tinggi integritas, korupsi akan terus berkembang dan merusak tatanan masyarakat.
Untuk itu, perlu ada upaya yang lebih serius dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana di tingkat RT/RW. Masyarakat harus dilibatkan lebih aktif dalam proses pengawasan, dan pengurus RT/RW harus diberikan pelatihan tentang pentingnya menjaga integritas dan kejujuran. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi di level manapun, termasuk RT/RW, menjadi kunci untuk membangun sistem yang bersih dan akuntabel.
Kasus-kasus seperti yang terjadi di Cimpaeun dan Palopo membuktikan bahwa budaya korupsi tidak hanya terbatas pada pejabat tinggi, tetapi sudah meresap ke dalam birokrasi yang paling bawah. Menghapuskan praktik korupsi ini memerlukan kerja keras semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan lembaga pengawas, untuk bersama-sama menciptakan sebuah sistem yang adil, transparan, dan bebas dari korupsi.
Editor: FS