Setelah melewati dua periode sebagai Presiden, Joko Widodo kini telah menjadi bagian dari sejarah kepemimpinan Indonesia. Namun, jejak politik keluarganya tidak berakhir di sana. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, kini menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, sementara menantunya, Bobby Nasution, baru saja terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara. Fenomena ini semakin memperkuat pandangan tentang politik dinasti yang telah menjadi warisan era Jokowi.
Kehadiran keluarga Jokowi di berbagai posisi strategis mengundang pertanyaan
mendalam: apakah ini murni hasil demokrasi, atau ada jejak manipulasi kekuasaan
yang diwariskan dari rezim sebelumnya? Sejumlah kebijakan hukum dan regulasi di
era kepresidenan Jokowi disebut-sebut memberikan jalan mulus bagi keluarga dan
kroninya untuk mempertahankan dominasi politik di berbagai wilayah.
Sebagai contoh, Gibran yang sebelumnya menjabat sebagai Wali Kota Solo
dengan cepat melesat ke panggung politik nasional. Dengan dukungan mesin
politik yang kuat dan jejaring luas yang dibangun selama era Jokowi, banyak
yang menilai lonjakan karier politiknya bukan sekadar hasil kerja keras
pribadi, melainkan buah dari pengaruh politik dinasti. Hal serupa juga terjadi
pada Bobby Nasution, yang berhasil memenangkan pemilihan gubernur di Sumatera
Utara, salah satu provinsi strategis di Indonesia.
Kritik terhadap dinasti Jokowi juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
hukum yang diterapkan selama pemerintahannya. Beberapa regulasi dianggap
memperkuat kontrol kekuasaan keluarga besar Jokowi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Contohnya adalah revisi Undang-Undang KPK dan sejumlah
peraturan lain yang dianggap melemahkan institusi penegak hukum, menciptakan
celah untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu.
Pendukung Jokowi kerap menyatakan bahwa keterlibatan keluarganya dalam
politik adalah hasil demokrasi yang sah, karena semua posisi diraih melalui
pemilihan umum. Namun, banyak pihak menilai bahwa kontrol dan pengaruh kekuasaan
di era Jokowi memberikan keunggulan yang tidak adil bagi anggota keluarganya
dibandingkan dengan kandidat lain. Ini memunculkan kekhawatiran bahwa politik
dinasti telah mencederai semangat meritokrasi dalam demokrasi Indonesia.
Di sisi lain, keberadaan Bobby Nasution sebagai gubernur terpilih di
Sumatera Utara menambah kekuatan politik dinasti ini di level regional. Posisi
ini membuka peluang untuk semakin mengonsolidasikan pengaruh keluarga Jokowi,
baik dalam pengelolaan sumber daya daerah maupun dalam membangun jejaring
kekuasaan untuk pemilu mendatang.
Meski demikian, langkah politik keluarga Jokowi juga menghadapi tantangan.
Kritik terhadap keberlanjutan kebijakan hukum yang dianggap kontroversial di
era Jokowi akan menjadi sorotan besar. Pemerintahan Prabowo-Gibran, yang kini
memimpin, diharapkan mampu memperbaiki kebijakan-kebijakan tersebut agar tidak
lagi dituding melanggengkan oligarki dan politik dinasti.
Menggugat dinasti Jokowi bukanlah sekadar menyerang figur-figur di dalamnya,
melainkan mempertanyakan keberlanjutan demokrasi Indonesia. Apakah negeri ini
masih memiliki ruang yang cukup bagi pemimpin baru yang lahir dari rakyat, atau
justru terjebak dalam pola oligarki yang terus berulang? Pertanyaan ini harus
dijawab oleh masyarakat Indonesia yang mendambakan pemerintahan yang adil,
transparan, dan benar-benar melayani kepentingan rakyat banyak.
Demokrasi bukan milik satu keluarga atau kelompok tertentu, tetapi milik
seluruh rakyat. Kini, semua mata tertuju pada langkah-langkah politik keluarga
Jokowi di era pascakepemimpinan, sekaligus pada bagaimana bangsa ini menjaga
cita-cita demokrasi yang seharusnya menjadi warisan bersama.
Editor: FS