Jokowi di Tengah Kontroversi: Dipuji Publik, Dikritik PDIP

 

Joko Widodo, atau Jokowi, presiden ketujuh Indonesia, adalah sosok yang dikenal karena kesederhanaan, program kerja ambisius, dan gaya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Namun, di balik citra populernya, perjalanan kepemimpinannya tidak lepas dari berbagai kontroversi yang mengundang pujian sekaligus kritik tajam. Dari infrastruktur hingga politik hukum, kebijakan Jokowi sering kali menjadi bahan perdebatan di tengah masyarakat.

Salah satu tonggak kepemimpinan Jokowi yang kerap mendapat pujian adalah pembangunan infrastruktur yang masif. Jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga kereta cepat menjadi simbol modernisasi yang digenjot selama pemerintahannya. Hingga akhir 2023, total panjang jalan tol yang dibangun mencapai lebih dari 2.800 km, angka yang jauh melampaui capaian presiden sebelumnya (Kementerian PUPR, 2023). Proyek ini berhasil membuka konektivitas wilayah yang sebelumnya terisolasi dan memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, di balik gemilangnya pembangunan, muncul pertanyaan tentang keberlanjutan utang yang membiayai proyek-proyek tersebut. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa beban utang negara terus meningkat, mencapai lebih dari Rp7.800 triliun pada akhir 2024 (Kementerian Keuangan, 2024). Hal ini memicu kritik bahwa pembangunan dilakukan dengan mengorbankan stabilitas fiskal jangka panjang.

Selain itu, kebijakan Jokowi di sektor energi juga menjadi sorotan. Program transisi energi, seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan kendaraan listrik, dinilai ambisius tetapi kurang matang dalam pelaksanaan. Penghapusan subsidi energi fosil dianggap terlalu mendadak dan membebani masyarakat kecil, sementara manfaat dari program energi terbarukan belum dirasakan secara signifikan (Institute for Essential Services Reform, 2023). Di sisi lain, penerbitan izin tambang di beberapa wilayah konservasi, seperti di Wadas, Jawa Tengah, menunjukkan kontradiksi antara komitmen lingkungan dengan kenyataan di lapangan (Greenpeace Indonesia, 2023).

Di ranah politik, Jokowi kerap dikritik karena dianggap terlalu kompromistis dengan oligarki. Penyusunan kabinet yang diwarnai bagi-bagi kursi untuk partai politik, hingga kebijakan yang dinilai pro-korporasi, membuat banyak pihak mempertanyakan independensi kepemimpinannya. Polemik terbesar dalam periode kedua Jokowi adalah wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Meski Jokowi telah berulang kali menyatakan tidak tertarik memperpanjang masa jabatan, pendukungnya di parlemen terus mendorong wacana ini (Kompas, 2024). Publik pun mempertanyakan apakah Jokowi benar-benar tidak terlibat, atau hanya diam membiarkan isu ini berkembang untuk menguji respons masyarakat.

Salah satu kontroversi politik terbesar di akhir masa jabatannya adalah ketegangan dengan partai yang membesarkan namanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jokowi sempat disebut-sebut sebagai "anak durhaka" oleh beberapa kader senior PDIP karena dianggap tidak loyal terhadap garis partai. Ia juga disebut tidak lagi mendukung penuh kepentingan PDIP, terutama dalam pencalonan presiden 2024. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika beredar kabar bahwa Jokowi nyaris dipecat dari partai akibat dugaan manuver politik yang dinilai bertentangan dengan kebijakan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP (Tempo, 2024). 

Dan ketika pada 16 Desember 2024 secara resmi Jokowi dipecat dari PDIP, situasi ini menunjukkan retaknya hubungan antara Jokowi dan partai yang menjadi fondasi awal karier politiknya, sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Kritik tajam juga diarahkan pada penanganan hukum dan HAM. Jokowi disebut gagal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti tragedi Semanggi dan penculikan aktivis 1998 (Amnesty International, 2023). Lebih parah lagi, di bawah pemerintahannya, beberapa undang-undang kontroversial disahkan, seperti UU Cipta Kerja yang menuai penolakan luas dari buruh dan masyarakat sipil. UU ini dinilai lebih menguntungkan investor asing dan konglomerat dibandingkan pekerja lokal (ICW, 2023). Penanganan terhadap aksi-aksi protes juga kerap diwarnai represivitas aparat, yang memperburuk citra pemerintah di mata rakyat.

Namun, di balik kritik-kritik tersebut, Jokowi tetap memiliki basis dukungan yang kuat. Ia dipandang sebagai pemimpin yang tetap fokus bekerja (sebelum lengser) meski berada di tengah tekanan politik. Popularitasnya yang terus stabil di atas 60% , selama hampir satu dekade (Lembaga Survei Indonesia, 2024) menunjukkan bahwa mayoritas rakyat masih percaya pada komitmennya untuk membawa perubahan. Jokowi juga diapresiasi atas keberhasilannya menjaga stabilitas politik di tengah polarisasi yang tinggi pasca-Pilpres 2019.

Jokowi merupakan gambaran dari kompleksitas seorang pemimpin di era modern. Ia adalah simbol harapan sekaligus target kritik. Di satu sisi, ia telah membawa perubahan nyata melalui kebijakan pembangunan dan modernisasi. Namun di sisi lain, tantangan besar berupa tata kelola yang adil, keberlanjutan ekonomi, dan pemenuhan janji politik terus menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.

Sejarah akan menilai Jokowi berdasarkan kebijakan dan dampak jangka panjang yang ditinggalkan, bukan sekadar narasi-narasi di tengah jalan. Dalam pusaran kontroversi ini, ia punya kesempatan untuk membuktikan apakah dirinya adalah pemimpin transformatif yang dikenang karena keberanian mengambil keputusan sulit, atau justru hanya menjadi pelengkap dalam siklus kekuasaan yang sama.


Edito: FS


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak