Pada 2006, lebih dari 600 migran Niger dipaksa dideportasi dari Libya dalam apa yang disebut sebagai salah satu pengusiran terbesar dari negara Afrika Utara tersebut hingga saat ini. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa para migran ini dipaksa menjalani perjalanan mengerikan melintasi Gurun Sahara, yang digambarkan sebagai "berbahaya dan traumatis." Deportasi massal ini adalah gambaran mengerikan dari konsekuensi yang lebih besar dari upaya Eropa untuk membatasi migrasi dengan mengalihkan kontrol perbatasannya ke negara-negara seperti Libya.
Para migran yang telah ditangkap oleh otoritas Libya selama sebulan terakhir ini kemudian dipindahkan dalam sebuah konvoi truk menuju kota gurun Dirkou di Niger. Meskipun pengusiran dari Libya bukanlah hal baru, skala operasi ini merupakan yang terbesar dalam ingatan belakangan ini, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang semakin normalnya praktik semacam ini. Menurut Azizou Chehou, dari organisasi amal Alarm Phone Sahara, jumlah orang yang dideportasi kali ini sangat besar, yang menunjukkan adanya pergeseran menuju pengusiran massal.
Skala operasi ini seharusnya memicu perbincangan lebih besar mengenai peran kebijakan Eropa dalam memperburuk pelanggaran hak asasi manusia ini. Uni Eropa, khususnya Italia, telah menandatangani sejumlah perjanjian dengan Tunisia dan Libya untuk membatasi jumlah orang yang menyeberang ke Laut Tengah, namun perjanjian-perjanjian ini sering kali datang dengan mengorbankan nyawa migran. Ketika para pekerja migran dipaksa keluar dari Libya, mereka harus menempuh perjalanan berbahaya melintasi Gurun Sahara, sering kali tanpa memperhatikan keselamatan atau kesejahteraan mereka. Pengusiran baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana negara-negara Eropa secara efektif mengalihkan masalah migrasi, memindahkan beban tersebut ke negara seperti Libya, yang telah lama terjerat dalam ketidakstabilan dan pelanggaran hak asasi manusia.
David Yambio, juru bicara organisasi nirlaba Refugees in Libya, dengan tegas menggambarkan kebijakan ini sebagai "kebijakan perbatasan Eropa yang terbuka." Ia menuduh para pemimpin Eropa mengalihkan "pengusiran massal dan kematian" kepada Libya, di mana gurun telah menjadi kuburan bagi mereka yang mencoba melarikan diri dari kemiskinan dan konflik. Penderitaan para migran ini sengaja disembunyikan dari pandangan publik, karena Uni Eropa mendapat manfaat dari sistem yang membuat masalah ini menghilang tanpa harus menghadapinya langsung.
Perjalanan yang harus ditempuh para migran ini sungguh menghancurkan. Ketika mereka melewati musim dingin di gurun yang sangat dingin, truk yang mereka tumpangi menjadi jebakan maut. Tanpa memperhatikan hak asasi dasar mereka, para migran dipaksa masuk ke ruang sempit di mana perkelahian pecah, dan banyak yang jatuh dari truk, menderita patah tulang. Mereka yang selamat dari perjalanan berat ini tiba dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Ini adalah gambaran jelas dari sebuah sistem yang memilih untuk berpaling, membiarkan orang-orang menderita demi menjaga perbatasan.
Meskipun pengusiran ini tampaknya hanya operasi rutin bagi sebagian orang, sebenarnya ini adalah indikator yang sangat serius dari masalah sistemik yang lebih besar. Retorika yang berkembang seputar migran di Libya, terutama dari kelompok seperti Tentara Nasional Libya yang dipimpin oleh Khalifa Haftar, sering kali berusaha mendemonisasi orang asing, terutama mereka yang berasal dari sub-Sahara. Retorika dehumanisasi ini mendorong pengusiran yang lebih sering dilakukan dengan alasan pengendalian dan stigmatisasi, daripada kebutuhan nyata akan pengelolaan migrasi.
Libya, yang dahulu menjadi tujuan bagi pekerja dari negara-negara seperti Niger, Mali, dan Chad, telah lama menjadi tempat bagi migran yang mencari pekerjaan di sektor-sektor seperti pertanian, konstruksi, dan ritel. Namun, semakin buruknya kondisi dan semakin berbahayanya jalur migrasi, fokus penguatan perbatasan oleh negara-negara Eropa justru memperburuk kerentanannya. Pekerjaan mereka masih dicari, tetapi nyawa mereka dianggap tidak berarti ketika mereka menjadi korban dari permainan politik baik oleh pihak lokal maupun pembuat kebijakan Eropa.
Pengusiran terbaru ini bukan hanya krisis kemanusiaan bagi para migran yang terlibat, tetapi juga kegagalan moral dari strategi pengelolaan perbatasan Eropa. Uni Eropa harus menghadapi kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan mereka, yang mengalihkan pengelolaan migrasi ke daerah yang tidak stabil, telah mengarah pada penderitaan dan kematian migran yang tak terhitung jumlahnya. Uni Eropa harus berhenti mengalihkan konsekuensi dari kebijakan mereka dan mulai bertanggung jawab atas biaya manusia dari keputusan-keputusan mereka.
Sebagai komunitas internasional, kita harus menyadari bahwa pendekatan saat ini terhadap pengelolaan migrasi tidak berkelanjutan dan tidak dapat dipertahankan. Jalan ke depan harus memprioritaskan martabat manusia, mengakui hak-hak migran, dan menantang praktik-praktik yang semakin eksploitatif dan mematikan dalam menegakkan perbatasan. Nyawa mereka yang melintasi Gurun Sahara atau mencoba menyeberangi Laut Tengah tidak boleh dikorbankan demi kenyamanan politik. Sudah saatnya bagi Eropa untuk mempertimbangkan kembali pendekatannya terhadap migrasi dan berhenti mengandalkan langkah-langkah berbahaya dan tidak manusiawi yang merugikan yang paling rentan.