Kesederhanaan dalam cerita menjadi kekuatan utama yang mendorong visi sinematik Tunku Mona Riza. Sutradara ini kembali menghadirkan film yang memadukan keakraban tema dengan sentuhan emosional yang mendalam. Setelah sukses dengan Redha (2016), yang mengupas kompleksitas kehidupan keluarga dengan anak penyandang autisme, lulusan New York Film Academy ini kini menyelami konflik keluarga dengan kejujuran yang menyentuh.
Berlatar di Taiping, kota dengan curah hujan tertinggi di Semenanjung Malaysia, drama Rain Town dimulai di tengah keseharian keluarga Choo. Kehidupan rumah tangga mereka terlihat hangat dan harmonis di awal cerita. Sang ibu, Aileen (diperankan dengan gemilang oleh Susan Lankester), tampak penuh kasih sayang membuat kue bulan, sebuah aktivitas yang mencerminkan kepedulian mendalamnya dalam membesarkan ketiga anaknya: Alex, si pemberontak (Wilson Lee), Ruby, putri satu-satunya (Pauline Tan), dan kebanggaan keluarga, Dr. Isaac Choo (Fabian Loo).
Namun, suasana harmonis itu mulai terkikis setelah perdebatan kecil saat makan siang. Dalam campuran bahasa Kanton dan Inggris – sebuah langkah berani dari Tunku Mona Riza, sutradara keturunan Melayu pertama yang menyutradarai film berbahasa Cina – terungkap ketidakpuasan para anak terhadap ayah mereka, Choo Kam Wah (Kin Wah Chew), seorang patriark yang keras kepala. Sementara keluarga bersiap untuk merayakan Festival Kue Bulan, sang ayah justru sibuk dengan aktivitas uniknya: “berjudi hujan,” sebuah tradisi lokal yang memadukan kepercayaan fengshui dengan taruhan cuaca.
Dari sini, Rain Town berkembang menjadi lebih dari sekadar kisah konflik keluarga. Film ini juga menjadi penghormatan pada Taiping, dengan menampilkan jalan berbatu, lanskap klasik, dan pesona sederhana kota tersebut. Tetapi inti cerita tetap berpusat pada ketegangan dalam keluarga Choo, di mana dominasi Kam Wah menjadi pemicu dari berbagai perselisihan.
Meskipun narasi konflik keluarga ini terkesan klise, Tunku Mona Riza berhasil menyajikannya dengan cara yang memikat. Kekuatan film ini terletak pada penampilan apik para pemainnya, yang membuat karakter mereka terasa nyata dan dekat dengan penonton. Penonton akan tertawa, tetapi juga terharu – bahkan menangis – karena beberapa adegan yang mendalam dan emosional.
Secara visual, Rain Town memanjakan mata dengan pencahayaan hangat dan suasana senja yang menenangkan, seakan memberi kontras pada konflik yang intens dalam keluarga. Transisi antaradegan terasa mulus, dengan momen-momen sinematik yang mencuri perhatian, seperti pemandangan kota Taiping dari atas di tengah hujan lebat. Semua ini memberikan sentuhan lembut pada momen-momen penuh emosi dalam keluarga Choo.
Pada akhirnya, Rain Town adalah pertemuan antara tradisi dan modernitas, sebuah refleksi akan perubahan yang sulit diterima namun tak terelakkan. Kisahnya mungkin terasa familiar dan sederhana, tetapi justru dalam kesederhanaan inilah kekuatannya. Seperti yang diungkapkan oleh Tunku Mona Riza, “kisah-kisah sederhana memiliki bobot besar bagi mereka yang langsung merasakannya.” Dan Rain Town akan menyentuh hati setiap penontonnya dengan cara yang berbeda.