Soeharto, presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade, adalah figur yang tidak bisa dipandang hitam-putih. Selama pemerintahannya, Indonesia mengalami transformasi besar, baik dalam pembangunan ekonomi maupun dalam cara negara ini dikelola. Namun, di balik kemajuan yang terlihat, terdapat jejak-jejak kelam yang tidak bisa diabaikan. Soeharto dipuja oleh banyak pihak yang memandangnya sebagai sosok yang membawa stabilitas dan kemajuan, namun juga dicaci karena gaya kepemimpinan otoriter dan berbagai pelanggaran yang terjadi selama pemerintahannya.
Di satu sisi, Soeharto memang berhasil membangun Indonesia, memulihkan ekonomi pasca-kolonialisme dan Orde Lama yang penuh ketidakstabilan. Di bawah kekuasaannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, dengan PDB per kapita yang meningkat hampir lima kali lipat antara 1967 hingga 1997. Kebijakan pembangunan, seperti swasembada pangan yang tercapai pada tahun 1984, diakui oleh dunia internasional (Bappenas). Namun, kebijakan ini datang dengan harga yang sangat mahal: eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali dan penyerapan utang luar negeri yang menggunung. Pada 1997, Indonesia terjerat dalam krisis moneter, di mana utang negara mencapai sekitar USD 136 miliar, yang pada gilirannya menghancurkan perekonomian dan menambah beban rakyat (World Bank, 1998).
Namun, semua pencapaian itu tidak bisa menutupi wajah Soeharto yang otoriter dan penuh dengan pelanggaran. Selama masa pemerintahannya, kebebasan pers dibungkam. Media yang berani menyuarakan kritik terhadap pemerintahannya mengalami pembredelan. Majalah Tempo, surat kabar Indonesia Raya, dan berbagai media independen lainnya yang berani menentang kebijakan Orde Baru harus berhadapan dengan ancaman pembatasan (Siti Maimunah, 2009). Sistem politik yang dibangun adalah sistem yang tertutup, di mana Golkar, partai politik yang dipimpin Soeharto, menguasai segala lini. Pemilihan umum yang diselenggarakan hanyalah formalitas belaka, dengan kandidat yang diinginkan oleh rezim yang selalu menang tanpa adanya pilihan nyata bagi rakyat (Richard Robison, 1986).
Di luar kebebasan politik, pemerintahannya tercatat sebagai salah satu yang paling kelam dalam sejarah Indonesia dalam hal pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan represif dilakukan terhadap setiap bentuk perlawanan, baik itu di Aceh, Timor Timur, Papua, atau daerah lain yang dianggap mengancam kestabilan politik Soeharto. Tragedi Tanjung Priok (1984), yang menewaskan ratusan warga sipil, dan peristiwa Mei 1998, yang mengakibatkan pembunuhan dan kekerasan masal terhadap etnis Tionghoa, adalah dua contoh pelanggaran besar yang tak akan terlupakan. Dalam laporan Human Rights Watch dan berbagai lembaga internasional lainnya, Soeharto dipertanggungjawabkan atas ribuan nyawa yang hilang dalam operasi militer yang penuh kekerasan dan penyiksaan (Amnesty International, 1990s).
Korupsi adalah salah satu penyakit paling parah yang menggerogoti tubuh Orde Baru. Tidak hanya Soeharto sendiri, keluarganya juga menjadi simbol kekayaan yang didapat melalui cara-cara yang sangat meragukan. Banyaknya kekayaan yang terkumpul melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memperlihatkan betapa pemerintahannya tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial, tetapi juga mengorbankan masa depan ekonomi bangsa. Kekayaan pribadi Soeharto, yang diperkirakan mencapai USD 15-35 miliar, menjadi bukti jelas bahwa meskipun negara tumbuh, yang sesungguhnya berkembang adalah segelintir elit yang dekat dengan penguasa (Transparency International, 2004).
Namun, meskipun semua kekurangan dan pelanggaran yang terjadi, Soeharto tetap dianggap sebagai sosok yang berjasa dalam menjaga stabilitas negara dan memajukan ekonomi Indonesia pada masa itu. Banyak orang menganggap dirinya sebagai penyelamat yang berhasil menghindarkan Indonesia dari keruntuhan total. Keberhasilannya dalam mengendalikan inflasi dan menciptakan lapangan kerja di era Orde Baru membuat banyak pihak terutama di kalangan generasi yang menikmati stabilitas politik, memujanya sebagai pemimpin yang tangguh dan visioner.
Kritik terhadap Soeharto tidak dapat dihindari, terutama seiring dengan semakin terbukanya informasi pasca-kejatuhan Orde Baru. Banyak pihak yang mulai menyadari bahwa stabilitas yang dibangun selama ini lebih berbentuk kedamaian yang dipaksakan melalui penindasan dan ketakutan. Soeharto menciptakan kedamaian di atas penderitaan rakyat yang dibungkam.
Kini, Soeharto telah meninggalkan dunia ini, namun warisannya yang penuh kontradiksi tetap menghantui. Sosok yang dipuja sebagian orang dan dicaci oleh yang lain tetap menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia. Penilaian terhadap Soeharto harus tetap bersifat kritis dan objektif, mengingat bahwa setiap kebijakan, sekecil apapun, memiliki dampak yang dalam bagi kehidupan masyarakat. Warisannya harus dijadikan pelajaran berharga dalam menjaga demokrasi dan menghindari kekuasaan absolut yang merugikan rakyat banyak.
Editor: FS