Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, adalah tokoh besar yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah bangsa. Sebagai pemimpin revolusi, ia memimpin bangsa ini menuju kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sekaligus merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan keberagaman Indonesia. Kehebatannya sebagai orator menjadikan Soekarno simbol perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Di kancah internasional, Soekarno memperkuat posisi Indonesia melalui Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, yang menjadi tonggak solidaritas antara negara-negara Asia dan Afrika dalam melawan imperialisme. Peristiwa ini juga menjadi dasar terbentuknya Gerakan Non-Blok, di mana Soekarno berperan penting dalam membangun aliansi strategis di tengah Perang Dingin (Sumber: Arsip Konferensi Asia-Afrika).
Namun, di balik kejayaan itu, Soekarno tak lepas dari kontroversi, terutama terkait kebijakannya pada era Demokrasi Terpimpin. Ia mengonsolidasikan kekuasaan dan mengadopsi konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) untuk merangkul semua elemen politik di Indonesia. Sayangnya, aliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) memicu ketegangan besar. Peristiwa G30S/PKI pada 1965, yang diikuti oleh pergolakan politik, akhirnya menggulingkan Soekarno dari kursi kepresidenan (Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Volume VI).
Kehidupan pribadinya juga tak kalah menarik perhatian. Dikenal sebagai pria flamboyan, Soekarno menikahi sembilan wanita sepanjang hidupnya, termasuk Fatmawati, Hartini, dan Ratna Sari Dewi. Fatmawati, istri yang menjahit bendera pusaka, meninggalkan istana karena tidak tahan dengan kebiasaan Soekarno yang terus menikahi wanita lain. Pernikahan dengan Hartini dilakukan tanpa izin Fatmawati, memicu kritik keras dari organisasi perempuan, seperti Kongres Wanita Indonesia (Sumber: Arsip KOWANI).
Pernikahan Soekarno dengan Ratna Sari Dewi, seorang perempuan Jepang yang berusia jauh lebih muda, juga menjadi sorotan tajam. Banyak pihak menilai langkah ini menunjukkan bahwa Soekarno terlalu mementingkan kehidupan pribadinya, bahkan di saat kondisi politik negara sedang genting. Meski ia berdalih bahwa cintanya pada perempuan adalah bentuk kecintaan pada keindahan, tindakannya ini memengaruhi citranya sebagai pemimpin bangsa (Sumber: Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams).
Setelah lengser dari jabatannya melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966, Soekarno menjalani masa-masa pengasingan di Wisma Yaso, Jakarta. Dalam kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit ginjal, ia hidup dalam kesepian. Pada 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto tanpa penghormatan negara yang layak. Pemimpin besar ini dimakamkan di Blitar dengan prosesi sederhana, meninggalkan ironi mendalam tentang bagaimana bangsa memperlakukan pahlawannya (Sumber: Tirto.id).
Soekarno adalah simbol kompleksitas seorang pemimpin besar. Ia dikenang sebagai arsitek kemerdekaan dan bapak bangsa, tetapi juga diperdebatkan karena kebijakan politik dan kehidupan pribadinya yang penuh warna. Sejarah mengajarkan kita untuk melihat seorang tokoh secara utuh, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hingga kini, nama Soekarno tetap hidup dalam ingatan bangsa sebagai simbol perjuangan, kebanggaan, dan pelajaran tentang makna kepemimpinan sejati.
Editor: FS